Rabu, 08 Januari 2014

Akal,Hawa Nafsu dan Hak

Oleh Reza Idria


BAGI sejumlah pemikir, bencana dan penderitaan selalu memberi kemungkinan munculnya pola hubungan baru dan juga, setidaknya dalam telaah Wittgenstein, “permainan kata”.  Kata “Aceh” kini digunakan lebih sering dari zaman manapun sebelum kita, tercetak di mana-mana mulai dari gerobak mie, partai politik, portal berita hingga pelengkap nama di jejaring media sosial. Rasanya tidak sah kalau tidak ada kata Aceh dalam setiap frasa yang digunakan. Begitu pentingnya sesuatu atau seseorang mungkin khawatir tidak cukup “Aceh” tanpa kata Aceh di belakang namanya. Membanggakan ketika hal itu bertemu konteksnya. Mencemaskan ketika ia jatuh untuk menyempitkan pandangan. Kita belum beruntung, karena hal kedua-lah yang kini terhimpun dalam kenyataan politik dan cara beragama kita belakangan ini.
Sedikit sekali yang ingat bahwa dalam suasana berkabung pascaperang dan bencana, tubuh kita yang luka patah dipapah oleh penduduk dunia tanpa dipertanyakan kita siapa dan beragama apa. Itu zaman orang-orang menggubah syair tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya.
Apa yang luput kita bangun adalah kelompok sosial yang kuat, yang oleh Habermas disebut “sebagai individu-individu rasional yang terbebas dari kepentingan politik kuasa,” sebagai syarat imbangnya gerak menuju masa depan. Kini politik (lebih tepatnya politisi) bergerak lebih cepat. Kaum ini berhasil menguasai bahasa publik melalui klaim-klaim merepresentasikan keinginan paling mendasar dari masyarakat.
Istilah-istilah seperti kemanusiaan, kesetiakawanan, kesetaraan, segera berubah menjadi keistimewaan, kekhususan, atau keagamaan dalam makna yang sempit. Menuntut harus dipandang dan diperlakukan berbeda. Kata-kata tersebut, yang di kamus sedianya bermakna positif, menjelma kata-kata bermuka dua, bertujuan mereduksi dan manipulatif.
Yang dilihat orang kemudian adalah kita sebagai masyarakat yang paling sibuk mengeja kembali identitas, apapun yang membuat kita tampak paling istimewa. Satu anekdot membetot saraf ketawa saya ketika seorang teman yang jenaka menceritakan bahwa bumi yang diyakini bulat ternyata memiliki tonjolan jika dilihat dari bulan, dan di tonjolan itulah hidup orang Aceh sebagai “bangsa teuleubéeh ateuh rueng dônja”.
Kalimat italik tersebut pada satu zaman mungkin punya daya guncang. Satu kalimat proklamatik tentang kelebihan kita dibanding bangsa lain di dunia. Namun frasa arkaik tersebut tidak lagi menemukan daya magisnya ketika hari ini dihadapkan pada ancaman disintegrasi persaudaraan Aceh yang semakin mengejang di ranah politik, sementara agama dalam banyak hal berhenti di tataran simbolik, dan kedaulatan sumber daya alam digadai ke tangan pemilik modal. Ada yang absen di sini, kita akan kembali kepadanya beberapa saat lagi.
Tali Allah
Selain emas dan gas bumi, sejarah adalah hal yang paling banyak digali di Aceh setelah tsunami. Namun, sejarah tidak lagi sebagai pohon ilmu, tapi candu. Dorongan politik yang begitu kuat untuk kembali ke masa lalu. Bagaimana sejarah bisa digugu sangat tergantung siapa yang berbicara, untuk kepentingan apa, dan apa jadinya ketika ia bertemu dengan hasrat berkuasa. Bahasan ini sudah melahirkan Ibnu Khaldun, Hegel, Nietzsche, Freud, Foucault hingga Edward Said, dan kita tinggal membacanya. Tapi inilah problem terbesar kita: pembacaan. Lagi-lagi karena ada yang absen di sini.
Satu catatan penting yang jarang sekali dibaca oleh orang Aceh adalah apa yang ditulis James Siegel tentang kita era tahun 60-an. Zaman yang nyaris sama dengan apa yang kita jalani kini. Siegel tiba tahun 1962, saat Aceh juga sedang menata diri setelah perang, para pejuang baru saja turun gunung.
Daud Beureueh menyita perhatiannya, tokoh yang menolak segala kemewahan yang disediakan di Kutaraja dan memilih tinggal dekat dengan pengikutnya. Siegel memberi judul bukunya The Rope of God, frasa dari ayat Al-Quran yang paling sering dikutip Daud Beureueh ketika memberikan ceramah, bahwa masyarakat Aceh hanya bersatu dengan senantiasa berpegang pada “Tali Allah.” Buku itu dengan elegan membongkar kekeliruan etnografi kolonial karya Snouck Hurgronje, lalu melacak evolusi Islam dalam struktur sosial, perekonomian, tatanan keluarga dan kharisma kepemimpinan di Aceh ketika itu. Kemampuan kita membendung penetrasi kolonial, melawan ketidakadilan pemerintah pusat hingga menata hubungan kembali dengan musuh, menurut Siegel, semua dilandasi pemahaman yang baik terhadap dua istilah yakni akal dan hawa nafsu.
Hawa nafsu dalam teks agama adalah asal mula dari segala cela yang dilakukan manusia. Akal diciptakan sebagai saringan, sebagai tali kekang hawa nafsu. Akal, pada tahun 60-an, tumbuh sejajar dengan pemahaman agama, yang diterjemahkan oleh masyarakat dalam cara berbicara, bekerja dan membentuk struktur sosial dan politik. Bukan tidak ada masalah atau konflik sosial yang dicatat, namun kesemuannya itu tetap dalam bingkai sempurna atau tidaknya akal dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ketika akal belum sempurna maka hawa nafsu yang menjadi penggerak. Seorang bayi, dalam analisis rinci Siegel, akan meminta apa saja, menangis seharian, minta perhatian hingga menumpuk apapun yang bahkan tidak dibutuhkannya. Itulah hak dia sebagai yang belum sempurna akalnya. Orang rasional akan mengalah dan memahami itu sebagai bagian dari proses tumbuhnya akal.
Membaca kembali Siegel mungkin satu hal yang menyelamatkan kita dari frustasi melihat relasi politik sekarang:  melatih kemampuan kita melihat hubungan antara masyarakat Aceh yang baru saja tumbuh kembali bersama akal dan hawa nafsu-nya. Setelah tsunami, Siegel mungkin mengenali bahwa hasrat kini turut diartikulasikan sebagai “hak”.
Kegagalan kita membangun kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu rasional menyebabkan kita semua menjadi bagian dari penuntut, dengan tingkatan yang berbeda-beda: jatah terhadap hak perdamaian, hak tsunami, hak identitas, hak politik, hak agama dan sebagainya. Hak, kata yang dipinjam dari bahasa Arab yang memiliki makna “benar”, menjadi hawa nafsu ketika orang merasa benar melakukan apa saja dari mencakar, membabat, menghancurkan fasilitas negara, hingga membunuh jika merasa haknya tidak diberikan. Sementara sebagian orang menumpuk sesuatu di luar kebutuhan. Karena akal belum tumbuh dengan sempurna.
“Tali Allah” adalah catatan tahun 60-an sebelum Orde Baru memutuskan tautan itu, merebut ulama dari rakyat dan melakukan infiltrasi melalui kekerasan dan politik kebudayaan. Saatnya kita mengeja kembali tentang hawa nafsu dan bagaimana akal sehat bisa menjadi penuntun untuk memperbaiki apa yang sudah menggerus kemanusiaan kita dalam satu dekade ini.

* Reza Idria, pengajar di UIN Ar-Raniry, berkumpul di Komunitas Tikar Pandan. Sekarang (2014)Sedang menempuh studi doktor di Universitas Harvard.

0 komentar: